Ki Hadjar Dewantara: Revolusi Melalui Pendidikan

Ki Hadjar Dewantara: Revolusi Melalui Pendidikan

Ketika menonton serial televisi asal negeri Paman Sam berjudul “The West Wing”[1], saya terkesima dengan ucapan dari salah satu karakternya bernama Sam Seaborn. Seaborn, penasihat khusus untuk Presiden Bartlet, berkata, “Education is the silver bullet. Education is everything. We don't need little changes, we need gigantic, monumental changes.[2]

Pendidikan adalah senjata pamungkas. Pendidikan adalah segalanya. Kutipan ini mengingatkan saya pada kondisi pendidikan Indonesia yang memprihatinkan, sekaligus memaksa saya untuk melakukan refleksi atas perjuangan penggiat pendidikan pada masa lalu.

Siapa yang tak kenal dengan nama Ki Hadjar Dewantara, dan semboyannya tut wuri handayani? Semenjak bangku sekolah dasar, kita sudah mengetahui sosoknya sebagai Bapak Pendidikan Indonesia. Ia lahir sebagai Raden Mas Soewardi Soejaningrat pada 2 Mei 1889, dan hari ulang tahunnya diabadikan sebagai Hari Pendidikan Nasional.[3]

Sosok pendidik ini sempat mengenyam pendidikan kedokteran di STOVIA, yang gagal diselesaikannya karena beberapa alasan yang belum jelas. Gagal menjadi dokter, beliau akhirnya “banting setir” menjadi seorang penulis dan wartawan. Ia menyampaikan gagasan-gagasan anti-kolonialismenya melalui beberapa media seperti Sediotomo, Midden Java, De Expres, Oetoesan Hindia, Kaoem Moeda, Tjahaja Timoer, dan Poesara.[4]

Tulisan memang menjadi salah satu alat propaganda yang jamak digunakan oleh pejuang pra-kemerdekaan. Sebagai contoh Tirto Adhi Soerjo[5], Mas Marco Kartodikromo[6], hingga Kartini[7] menggunakan tulisan sebagai senjata mereka.

Ki Hadjar Dewantara juga menggunakan medium ini sebagai bentuk perlawanannya terhadap pemerintah kolonial. Salah satu kolom dari beliau yang paling fenomenal berjudul “Als ik een Nederlander was”, yang jika diterjemahkan secara bebas menjadi “Seandainya Aku Seorang Belanda”.[8]

Karyanya ini dimuat di surat kabar De Expres, yang pada saat itu dipimpin oleh Douwes Dekker, salah satu peletak dasar nasionalisme Indonesia yang masih bersaudara jauh dengan Eduard Douwes Dekker. Dapat diduga, tulisannya membuat merah kuping pemerintah kolonial yang ada di Hindia Belanda.

Seperti biasa, penjajah menggunakan haatzai artikelen[9] untuk menangkap Ki Hadjar Dewantara. Pada akhirnya, Ki Hadjar Dewantara beserta Tjipto Mangoenkoesoemo dan Douwes Dekker, ditangkap oleh pemerintah kolonial dan diasingkan ke Belanda.

Bapak Pendidikan ini akhirnya kembali ke Indonesia pada tahun 1919. Sepulangnya dari pengasingan, ia mendirikan Nationaal Onderwijs Instituut Tamansiswa (Perguruan Nasional Tamansiswa) pada 3 Juli 1922. Upayanya ini lagi-lagi mendapat rintangan dari pemerintah kolonial.

Seakan tidak puas telah mengasingkannya ke Belanda, pemerintah kolonial mengeluarkan Ordonansi Sekolah Liar, tertanggal 1 Oktober 1932, yang nampaknya bertujuan untuk menghalangi perkembangan Taman Siswa.[10]

Tentunya ada alasan mengapa Ki Hadjar Dewantara memilih isu pendidikan sebagai perlawanan terhadap kolonialisme Belanda. Ia berpendapat bahwa rakyat yang diberi pendidikan yang memadai maka wawasannya semakin luas, yang akan berbanding lurus dengan keinginan mereka untuk merdeka jiwa dan raga.[11]

Seperti kita tahu, lembaga pendidikan Taman Siswa masih bertahan hingga saat ini. Dengan visi sebagai badan Perjuangan Kebudayaan dan Pembangunan masyarakat serta penyelenggaraan pendidikan dalam arti luas dalam bentuk perguruan,[12] Taman Siswa berusaha untuk meneruskan nilai-nilai yang ditanamkan oleh Ki Hadjar Dewantara di tengah ketidakpedulian pihak berwenang dalam pengembangan pendidikan Indonesia.

Seandainya Ki Hadjar Dewantara bisa melihat kondisi pendidikan Indonesia sekarang, tentu beliau akan terenyuh. Guru-guru yang sekedar mengajarkan ilmu textbook, murid-murid yang enggan mencerdaskan diri, sekolah/universitas yang cenderung berorientasi profit, serta kebijakan pendidikan yang selalu “Ganti Presiden, Ganti Kurikulum”.

Mungkin saat ini Ki Hadjar Dewantara perlu membuat tulisan berjudul, “Als ik een President”, untuk menyentil pemerintah yang nampaknya tak ambil pusing soal pendidikan.


[1] The West Wing adalah serial televisi dari Amerika Serikat yang menggambarkan kehidupan sehari-hari Presiden Amerika Serikat beserta staffnya. Lebih jauh, lihat http://www.nbc.com/The_West_Wing/
[2] IMDB.com, “Sam Seaborn”, http://www.imdb.com/character/ch0018943/quotes, akses pada 10 April 2012, 18.14 WIB.
[3] Wikipedia.org, “Ki Hadjar Dewantara”, http://id.wikipedia.org/wiki/Ki_Hadjar_Dewantara, akses pada 10 April 2012, 18.20 WIB.
[4] Biografi Tokoh Dunia, “Biografi Ki Hadjar Dewantara”, http://www.biografitokohdunia.com/2011/02/biografi-ki-hadjar-dewantara.html, akses pada 11 April 2012, 17.16 WIB
[8] Berdikari Online, “Kalau Saya Seorang Belanda”, http://www.berdikarionline.com/tokoh/20110403/kalau-saya-seorang-belanda-als-ik-eens-nederlander-was.html, akses pada 11 April 2012, 17.30 WIB.
[10] Tokohindonesia.com, “Ki Hadjar Dewantara: Bapak Pendidikan Nasional”, http://www.tokohindonesia.com/biografi/article/295-pahlawan/1502-bapak-pendidikan-nasional, akses pada 7 April 2012, 16.31 WIB
[11] The Nurdayat Foundation, “Ki Hajar Dewantara (1889-1959): Sosok Yang Keras Tapi Tidak Kasar (1)”, http://nurdayat.wordpress.com/2008/03/10/ki-hajar-dewantara-1889-1959-sosok-yang-keras-tapi-tidak-kasar-1/, akses pada 7 April 2012, 16.37 WIB
[12] Taman Siswa, “Visi & Misi”, http://www.tamansiswa.org/profile-mainmenu-27/visi-a-misi-mainmenu-33.html, akses pada 7 April 2012, 16.38 WIB.

Comments